Tarian Janger Khas Banyuwangi: Melintasi Zaman, Panggung Masih Berdiri di Rumah Warga
Tarian Janger Banyuwangi merupakan kesenian tradisional teater rakyat yang diciptakan sebagai bentuk hiburan masyarakat. Berawal didirikan dengan nama Damarwulan. Lantas, bagaimana terciptanya tarian Janger khas Banyuwangi?
Janger Sri Budoyo Pangestu (Discovery Banyuwangi)
Terciptanya tarian Janger Banyuwangi merupakan hasil dari para komunitas Using yang berada pada wilayah Kabupaten Banyuwangi. Perlu diketahui, Masyarakat Banyuwangi asli yang disebut suku Using memiliki kelebihan dibidang kesenian dan bercocok tanam.
Budaya yang diciptakan oleh suku Using ini merupakan perpaduan dari budaya Jawa dan budaya Bali. Kendati demikian, letak geografis yang berdekatan membuat saling bermigrasi dan menerima budaya luar yang masuk tanpa menerima mentah-mentah.
Asal-usul Tarian Janger
Dikutip melalui gramedia.com, menurut sejarah tarian Janger hadir pada tahun 1920-an di Bali Utara yang diciptakan oleh sosok seniman dan Budayawan Buleleng, I Gede Dharna. Tarian tradisional rakyat ini awalnya, bentuk nyanyian para petani.
Namun, kedugaan tarian Janger ini bermula dari kesenian tembang atau lagu yang dipersembahkan dengan cara bersaut-sautan oleh kelompok muda-mudi Bali. Seiring perkembangan zaman, tari Janger menjadi bentuk tari pergaulan yang diperankan secara berpasangan, maupun berkelompok oleh anak-anak remaja atau orang dewasa.
Pemeran perempuan dan laki-laki memiliki sebutannya sendiri, yaitu para penari perempuan disebut “Janger” dan para laki-laki disebut “Kecak.” Kedua kelompok ini, akan menari sambil bersaut-sautan sampai selesai.
“Janger dalam bahasa Bali dikatakan sebagai tari yang terdiri dari dua leret pemuda dan dua leret pemudi duduk saling hadap antara leret pemuda dan pemudi ditengah seorang dag” tertulis dalam penelitian yang dilakukan oleh Desak Made Suarti Laksmi dengan judul Janger Bali: Sejarah dan Popularitasnya.
Diketahui, tari Janger merupakan perkembangan dari tari Sang Hyang yang memiliki sifat sakral dan hanya dapat ditampilkan pada saat tertentu. Tari tradisional ini cuma bisa dilihat di area daerah Bangli, Badaung, dan Buleleng. Setiap daerah tersebut, memiliki ciri khas tersendiri-sendiri, berdasarkan kreativitas para seniman-seniman tersebut.
Pada dasarnya, kemunculan tari Janger ini hanya sebagai media hiburan para petani kopi. Namun, sejak tahun 1960-an tari Janger mulai sering tampil dan dipergunakan oleh kalangan kaum elit dalam berbagai kegiatan politik, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menjadi seni pertunjukan pada kalangan atas, tari Janger dianggap penting sebagai media penerangan partai politik dengan ideologi partai. Kendati, lontaran lirik lagu menjadi media utama karena merangkul demi kebersamaan.
Tak hanya partai politik saja, pemerintah Bali juga menggunakan kesenian tari Janger sebagai acara tahunan, yang berlangsung saat musim liburan tiba. Hal tersebut, dilakukan untuk menghibur para wisatawan yang tengah liburan di pulau Dewata.
Tambahnya, presiden Soekarno juga ikut mempopulerkan dan memberi banyak perhatian pada tari Janger, salah satunya dengan cara mengajak para penari Janger tampil di Istana Tampaksiring.
Dikutip melalui detik.com, keberadaan tari Janger sempat menghilang setelah terjadi peristiwa G30S/PKI. Kehilangan itu disebabkan karena para seniman Janger dianggap memiliki kepihakan pada PKI.
Akibat dari itu, para penari Janger sempat diburu untuk dibunuh dan dikucilkan. Peristiwa tersebut menjadi titik kelam kesenian rakyat, tari Janger yang menjadi hiburan masyarakat kala itu.
Ilustrasi Penangkapan G30S/PKI (Iqbal Asaputra/ Suara.com)
Hilang Rasa Trauma: Tari Janger Kembali Populer
Pada tahun 1970-an, setelah kejadian peristiwa G30S/PKI yang membawa citra tari Janger memburuk, kesenian tradisional rakyat ini kembali menggaung dan memiliki persepsi baik oleh masyarakat, yaitu tidak lagi memiliki keterpihakan kepada PKI.
Seiring perkembangan zaman, tari Janger tidak lagi dibawakan oleh kaum remaja dan anak-anak, melainkan tari Janger juga dibawakan oleh orang dewasa.
Kreatifitas para seniman berkembang membuat tari Janger memiliki alur cerita yang disebut “Janger Berkisah.” Beberapa kisah yang dibawakan pada tari Janger berdasarkan cerita dari pewayangan, seperti Arjuna Wiwaha, Sunda Upasunda, dan lainnya.
Berjalan selama 10 tahun, tari Janger mulaI diajarkan oleh generasi-generasi muda di Bali, hingga dititik menjadi ajang perkenalan pada anak muda antar desa ke desa lainnya. Oleh karena itu, perkembangan tari Janger membuat para seniman memiliki inovasi tersendiri, sehinggga tari Janger memiliki keunikannya pada setiap komunitas.
Kepopuleran tari Janger ini membuat pemerintah Bali kembali meliriknya, dengan tujuannya ikut mempopulerkan tari Janger. Peran pemerintah Bali ini memberikan kesempatan tari Janger sebagai tari pembuka pada berbagai acara yang diselenggarakan.
Kehadiran tari Janger Banyuwangi berawal dari sebuah paguyuban Karep Adadeake Rukun Santoso (KARS). Awalnya, paguyuban ini terbentuk dengan tujuan untuk kerukunan warga, seiring waktu dikenal sebagai kelompok kesenian, karena juga sebagai wadah mengekspresikan bakat seni.
Mbah Darji merupakan seorang yang membuat paguyuban KARS, memiliki latar belakang sebagai seniman dan pedagang sapi yang sering melintasi Banyuwangi-Bali. Oleh karena itu, beliau mengembangkan paguyuban KARS dikarenakan hasil ide dari melihat kesenian Arja Wiwaha, teater tradisional Bali.
Perlu diketahui, kesenian Janger Banyuwangi memiliki perpaduan budaya didalamnya yang diterima oleh masyarakat Banyuwangi. Hal itu disebut akulturasi budaya, penerimaan tersebut tidak dapat ditolak karena memiliki nilai sejarah yang tersirat.
“Hadirnya suatu identitas bangsa atau suku bangsa merupakan pengaruh keinginan hidup bersama dalam satu kelompok, baik berlandasan hubungan darah maupun kehidupan bersama suatu wilayah, serta memiliki ikatan sejarah dan tradisi yang berakar seraca turun-temurun,” tertulis dalam penelitian oleh Sugiyanto, Sumarno dan Ulya Arviatul Nurhidayah dengan judul Kesenian Tradisional Janger Banyuwangi: Akulturasi Budaya Using, Jawa, dan Bali Tahun 1920-2014.
Kelompok seniman, KARS terus mengalami perkembangan sebagai bentuk kesenian drama tari, yang memiliki percampuran budaya Using, Jawa, dan Bali. Pada tahun 1930, KARS mendapatkan kesempatan untuk tampil di Pendopo Kawedanan Banyuwangi dengan membawakan cerita Bhre Wirabhumi menggugat Majapahit. Dalam pertunjukan tersebut, disaksikan oleh pejabat Belanda dan masyarakat pribumi.
Usai pertunjukan, Belanda khawatir dan meminta naskah cerita yang diperankan itu, karena dianggap isi cerita Bhre Wirabhumi menggugat Majapahit dinilai menyinggung dan sangat membahayakan.
“Cerita yang bersifat kepahlawanan dapat menginspirasi rakyat untuk menentang pemerintah Belanda,” tertulis dalam penelitian.
Sebagai pengetahuan, sebelum bangsa mengalami kemerdekaan kesenian tidak menjadi media hiburan saja, namun menjadi salah satu cara untuk perjuangan melawan penjajah. Melalui kesenian, dapat membangitkan sengamat para masyarakat dengan cara membalut syair-syair kesenian yang memiliki nilai perjuangan.
Lakon Tari Janger Banyuwangi (Discovery Banyuwangi)
Tarian Janger Banyuwangi: Akulturasi Budaya Memainkan Peran Penting
Memperingati kelahiran Ratu Wilhelmia, pada Agustus 1930 kesenian Janger kembali dipanggil untuk tampil di Pendopo Kawedanan Banyuwangi dengan cerita Dawarwulan. Setelah pertujukan itu, KARS kembali dikenal sebagai kesenian yang disukai oleh masyarakat Banyuwangi, karena tokoh Damarwulan yang dibanggakan.
Waktu terus berjalan, kesenian tersebut tidak lagi dikenal dengan sebutan KARS, namun sudah dikenal dengan kesenian Damarwulan atau Jinggoan. Lalu, kesenian tersebut terus bermunculan dan masyakat lebih mengenalnya dengan pertunjukan tari Janger.
Pengenalan Janger tersebut disebabkan adanya pengaruh budaya Bali yang masuk, dikarenakan adanya hubungan penduduk Banyuwangi dan penduduk Bali. Tak dipungkiri, letak geografis yang berdekatan menjadi salah satunya.
Tarian Janger Banyuwangi ini mengadopsi budaya dari Bali, seperti pakaian yang dikenakan, instrumen gamelan yang dimainkan Gong Gebyar, yang masih dilestarikan hingga saat ini dan mengalami perkembangan diberbagai daerah Banyuwangi.
Terdapat tiga percampuran budaya dalam kesenian tari Janger Banyuwangi, yaitu budaya Using, Jawa, dan Bali. Budaya tersebut menjadi satu, tanpa merubah ciri khas asalnya.
Budaya Using terletak pada bahasa dalam adegan cerita rakyat atau sejarah, lawak, dan lagu-lagu. Pada budaya Jawa terdapat pada bahasa, alat musik, dan lagu-lagu Jawa. Sedangkan, penggunaan budaya Bali, terdapat pada pakaian, tarian, dan instrumen.
Kesenian tari Janger Banyuwangi merupakan seni tari tradisional asal suku Using. Kesenian tari ini berdasarkan hasil dari akulturasi budaya, yang menggabungkan tiga budaya di dalamnya, yaitu Budaya Using, Jawa, dan Bali.
Dikutip melalui Viva Banyuwangi, kesenian tari Janger Banyuwangi ini menceritakan teater sejarah masa kehidupan kerajaan, terutama Kerjaan Blambangan. Lakon yang mainkan seperti, Ande-ande Lumut, Cinderalas, Damarwulan, Minakjinggo, Sri Tanjung, bahkan cerita lain yang berbau islami.
Dalam pertunjukan Janger Banyuwangi memiliki segmen atau babak, biasanya acara dimulai malam hari setelah waktu isya hingga menjelang subuh.
Kesenian Janger Banyuwangi dapat dilihat di sekitar daerah Banyuwangi saja. Umumnya, pertunjukan seni ini dapat dijumpai diacara perkawinan, persembahan desa, dan hajatan lainnya.
Terbilang unik kesenian Janger Banyuwangi, karena bahasa yang digunakan terdapat dua bahasa, yaitu bahasa Jawa dan Using.
Maka dari itu, kesenian Janger Banyuwangi diklaim oleh Kementrian Kebudayaan dan Pendidikan Ditjen Kebudayaan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya sebagai warisan budaya dunia, berbentuk tak benda.
Komentar
Posting Komentar